el-Insyaet Online - Ketika politik kita dilucuti liberalisme yang lebih modern, ketika produk kita kembang-kempis-kualahan menghadapi importisasi bangsa lain, ketika muda-mudi kita menguntal “muntahan” negara lain yang lebih maju, ketika Indonesia tak sangggup lagi bernafas di negeri sendiri, saat ilmuwan kita dipecundangi oleh orang –orang botak berhidung mancung dari luar, ketika budaya kita ditanggalkan oleh budaya asing kekinian. Apakah kita masih mengaku berpelajar?
Politisasi yang dewasa ini mengundang para orang bernama besar untuk mampir ke persidangan dugaan ini-itu membawa publik untuk ikut menyaksikan sejarah Indonesia abad 21, jahiliyah modern. Para pelajar pun tidak mau ketinggalan pasang mata menyaksikannya, walaupun banyak yang hanya ternganga mengikuti alur politik Indonesia modern, mereka tak tahu-menahu. Sudah saatnya pelajar menghentikan air liurnya dan mengencangkan mata ketiganya. Pasang sabuk pengaman. Show time!
Inilah Indonesia, kawan! Negeri yang seharusnya menjadi Negara adidaya terkaya dunia dan menjelma menjadi raksasa Asia dengan kandungan emas berkualitas terbaik dan terbesarnya, dengan cadangan gas alam terbesarnya, dengan kandungan uranium (bahan nuklir) yang cukup untuk listrik seantero jagadnya, dengan hutan tropis terkayanya yang jika negara ini menginginkan kiamat sangatlah mudah—bakar saja hutan itu maka paru-paru dunia hanya tinggal berbilk kiri dan kanan, dengan tanah suburnya, dan dengan pemandangan surga yang terjatuh di atasnya. Fakta yang seharusnya dan semestinya terjadi pada negeri ini kini hanya menjadi bahan bacaan dan kajian saja. Negeri yang memiliki empat huruf konsonan dan lima huruf vokal ini diperosokkan oleh sikap politik semi-liberal yang bermoral bejat budaya barat, jahiliyah modern. Inilah I-N-D-O-N-E-S-I-A (baca: Indonesia) abad 21.
Tanah Papua Barat hasil jungkir-balikan Belanda yang akhirnya ber-“Tunggal Ika” yang diperjuangkan oleh Soekarno dan rakyatnya pasca kemerdekaan. Bumi Makassar yang berhasil direbut oleh Sultan Hasanudin dan pejuang syahidnya. Perlawanan di Jawa dengan Pangeran Diponegeoro dan para Walinya. Pertempuran dan perlawanan terhadap kolonialisme yang dipertarungkan di seluruh Indonesia menyisakan nama-nama pahlawan tak dikenal, memeras otak memikirkan tanah air perjuangannya, yang jika dipikirkan maka pecah otak lalu tumbuh lagi otak dan pecah lagi. Dihitung, sepuluh nyawa dan otak terjenius sedunia belumlah cukup tanpa pertolongan Allah. Sejarah Indonesia memasuki babak baru melawan kolonialisme dan perbudakan moral. Ranah baru perpolitikan Indonesia yang harus memperhatikan pelajar dan pemudanya yang tergeletak tak berdaya berisi amoral mereka yang dibunga-bungakan cinta monyet.
Menyikapi berderet-deret masalah politik yang dihadapi bangsa ini—dimana politik merupakan penentu keseluruhan bidang hidup bangsa. Pendidikan, perekonomian, budaya, ,moralitas, ideologi, keamanan, pertahanan dan kejati-dirian bergelayutan lemah, mengambang pada keberhasilan perpoltikan bangsa. Itulah mengapa semua bidang kehidupan tidak bisa dan tidak akan maju selama politiknya masih carut-marut. “Politik munafik bermuka dua”, kita tahu para polotikus masih punya akal dan nurani yang tetap diberi hidayah dari Tuhannya. Dualisme muka mereka yang terang-terengan dipertontonkan beramai-ramai terkesan bahwa manusia bernurani dan segala “thethe’-mbengek”nya hanya menjadi sejarah peradaban manusia.
Kiprah pelajar bermoral amat dirindukan bangsa ini. Pelajar yang menegakkan identitas kebanggaan bangsanya dengan berpolotik sholeh serta ketaqwaan. Merekahkan wajah-wajah baru dengan belajar sungguh-sungguh. Semua orang tahu apa itu “belajar sungguh-sungguh” dan tahu bagaimana caranya. Tapi tidak semua orang berpengalaman dalam berkeyakinan “belajar”, seperti itu kalau tidak salah—orang tua menasehati kita saat kita kanak-kanak. Pelajar bermoral harus mampu berdiri dengan kaki sendiri, membanggakan dan dibanggakan bangsanya lewat politik sainstik dan berhasil “mempecundangi” orang-orang yang pernah “mempecundangi” Indonesia.
Tidak perlu lagi dikaji terlalu dalam tentang apa yang seharusnya pelajar lakukan untuk bangsanya karena mereka pasti tahu lewat pelajaran kurikulum yang dijejalkan dengan paksa ke otak mereka dengan melupakan tata moral modern yang semurninya. Mereka tahu bagaimana mudahnya menghapus tangis Ibu Pertiwi yang berlarut-larut. “Urus saja kebejatan dan amoralmu! Biar kami urus sendiri kebejatan dan moral kami !”, jahiliyah modern. Adakah “Nabi Muhammad pembawa wahyu” baru yang mengeluarkan negeri ini dari kejahiliyahan modern? Harus ada yang cukup layak untuk menjawab pertanyaan itu! Siapkan dirimu, pelajar! Siapkan “Muhammad” baru untuk dunia!
اللهم صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد وعلى اله وصحبه أجمعين
”Jangan pernah menjadi orang lain, apalagi menjadi diri sendiri. Jadilah Indonesiaku, negeri!”, Pesan Garuda untuk Indonesia
Mohamad Abdurro’uf - Kelas XI PK MA NU TBS
Politisasi yang dewasa ini mengundang para orang bernama besar untuk mampir ke persidangan dugaan ini-itu membawa publik untuk ikut menyaksikan sejarah Indonesia abad 21, jahiliyah modern. Para pelajar pun tidak mau ketinggalan pasang mata menyaksikannya, walaupun banyak yang hanya ternganga mengikuti alur politik Indonesia modern, mereka tak tahu-menahu. Sudah saatnya pelajar menghentikan air liurnya dan mengencangkan mata ketiganya. Pasang sabuk pengaman. Show time!
Inilah Indonesia, kawan! Negeri yang seharusnya menjadi Negara adidaya terkaya dunia dan menjelma menjadi raksasa Asia dengan kandungan emas berkualitas terbaik dan terbesarnya, dengan cadangan gas alam terbesarnya, dengan kandungan uranium (bahan nuklir) yang cukup untuk listrik seantero jagadnya, dengan hutan tropis terkayanya yang jika negara ini menginginkan kiamat sangatlah mudah—bakar saja hutan itu maka paru-paru dunia hanya tinggal berbilk kiri dan kanan, dengan tanah suburnya, dan dengan pemandangan surga yang terjatuh di atasnya. Fakta yang seharusnya dan semestinya terjadi pada negeri ini kini hanya menjadi bahan bacaan dan kajian saja. Negeri yang memiliki empat huruf konsonan dan lima huruf vokal ini diperosokkan oleh sikap politik semi-liberal yang bermoral bejat budaya barat, jahiliyah modern. Inilah I-N-D-O-N-E-S-I-A (baca: Indonesia) abad 21.
Tanah Papua Barat hasil jungkir-balikan Belanda yang akhirnya ber-“Tunggal Ika” yang diperjuangkan oleh Soekarno dan rakyatnya pasca kemerdekaan. Bumi Makassar yang berhasil direbut oleh Sultan Hasanudin dan pejuang syahidnya. Perlawanan di Jawa dengan Pangeran Diponegeoro dan para Walinya. Pertempuran dan perlawanan terhadap kolonialisme yang dipertarungkan di seluruh Indonesia menyisakan nama-nama pahlawan tak dikenal, memeras otak memikirkan tanah air perjuangannya, yang jika dipikirkan maka pecah otak lalu tumbuh lagi otak dan pecah lagi. Dihitung, sepuluh nyawa dan otak terjenius sedunia belumlah cukup tanpa pertolongan Allah. Sejarah Indonesia memasuki babak baru melawan kolonialisme dan perbudakan moral. Ranah baru perpolitikan Indonesia yang harus memperhatikan pelajar dan pemudanya yang tergeletak tak berdaya berisi amoral mereka yang dibunga-bungakan cinta monyet.
Menyikapi berderet-deret masalah politik yang dihadapi bangsa ini—dimana politik merupakan penentu keseluruhan bidang hidup bangsa. Pendidikan, perekonomian, budaya, ,moralitas, ideologi, keamanan, pertahanan dan kejati-dirian bergelayutan lemah, mengambang pada keberhasilan perpoltikan bangsa. Itulah mengapa semua bidang kehidupan tidak bisa dan tidak akan maju selama politiknya masih carut-marut. “Politik munafik bermuka dua”, kita tahu para polotikus masih punya akal dan nurani yang tetap diberi hidayah dari Tuhannya. Dualisme muka mereka yang terang-terengan dipertontonkan beramai-ramai terkesan bahwa manusia bernurani dan segala “thethe’-mbengek”nya hanya menjadi sejarah peradaban manusia.
Kiprah pelajar bermoral amat dirindukan bangsa ini. Pelajar yang menegakkan identitas kebanggaan bangsanya dengan berpolotik sholeh serta ketaqwaan. Merekahkan wajah-wajah baru dengan belajar sungguh-sungguh. Semua orang tahu apa itu “belajar sungguh-sungguh” dan tahu bagaimana caranya. Tapi tidak semua orang berpengalaman dalam berkeyakinan “belajar”, seperti itu kalau tidak salah—orang tua menasehati kita saat kita kanak-kanak. Pelajar bermoral harus mampu berdiri dengan kaki sendiri, membanggakan dan dibanggakan bangsanya lewat politik sainstik dan berhasil “mempecundangi” orang-orang yang pernah “mempecundangi” Indonesia.
Tidak perlu lagi dikaji terlalu dalam tentang apa yang seharusnya pelajar lakukan untuk bangsanya karena mereka pasti tahu lewat pelajaran kurikulum yang dijejalkan dengan paksa ke otak mereka dengan melupakan tata moral modern yang semurninya. Mereka tahu bagaimana mudahnya menghapus tangis Ibu Pertiwi yang berlarut-larut. “Urus saja kebejatan dan amoralmu! Biar kami urus sendiri kebejatan dan moral kami !”, jahiliyah modern. Adakah “Nabi Muhammad pembawa wahyu” baru yang mengeluarkan negeri ini dari kejahiliyahan modern? Harus ada yang cukup layak untuk menjawab pertanyaan itu! Siapkan dirimu, pelajar! Siapkan “Muhammad” baru untuk dunia!
اللهم صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد وعلى اله وصحبه أجمعين
”Jangan pernah menjadi orang lain, apalagi menjadi diri sendiri. Jadilah Indonesiaku, negeri!”, Pesan Garuda untuk Indonesia
Mohamad Abdurro’uf - Kelas XI PK MA NU TBS
Posting Komentar