el-Insyaet Online - Hukum di Indonesia
belum bisa dibuat landasan seutuhnya, namun kekuasaanlah yang menjadi
landasan politik Indonesia. Hukum seolah tidak berguna dimata pihak
rakyat, dan hanya berguna bagi petinggi Negeri. Politik yang seharusnya
sebagai dasar pijakan sebuah keadilan, tetapi berubah menjadi pemicu
adanya konflik.
Arti politik secara terminologi adalah membebaskan, atau memerdekakan segala bentuk penindasan kekuasaan politik, ketidak adilan, kebodohan dalam kebersamaan yang wajib diterapkan sejak dini. Sebagai pelajar yang bernafas nasionalis, fardlu ‘ain bagi kita untuk menancapkan bendera politik di puncak rasio akal kita. Memang secara etis pelajar belum pantas untuk bergulat di bidang politik. Akan tetapi apakah pelajar harus duduk manis ketika berbagai tindakan kekerasan (kekerasan politik) baik bersifat vertikal maupun horizontal terus berlanjut pada jangkauan yang meluas. Selain itu, “debat kudeta” antar elite tentang fungsi dan hak masing-masing tak kalah kerasnya, sehingga menciptakan kekerasan hubungan social politik yang makin membudaya.
Pernyataan elite menjadi tidak produktif ketika masyarakat (anggota) dibuat tidak mengerti. Masyarakat (anggota) mulai dihantui keraguan mengenai apa sebenarnya maksud dari tindakan pihak lain.
Ketentuan hukum seharusnya menetapkan siapa yang benar dan siapa yang salah, guna menjamin keadilan, ketertiban sosial, ekonomi dan politik. Namun setiap kata atau pernyataan pada undang-undang dan pasal ternyata bisa diberi arti dan makna yang bervariasi sesuai dengan versi pelaku (tersangka). Bukan keadilan yang dihasilkan, tapi membuka peluang bagi para pelaku untuk bertindak tirani. Hukum sekarang belum bisa dibuat landasan seutuhnya oleh para pihak. Hukum sekarang lebih pantas disebut sebagai pemicu adanya berbagai konflik.
Ketimpangan praktik politik merebak pada ketimpangan empiris lain yaitu ekonomi, seseorang yang munguasai pada bidang politik maka dengan sendirinya dia akan menguasai bidang ekonomi. Siapa yang menguasai bidang ekonomi belum tentu dia mahir dalam politik.
Pada hakikatnya politik menjadi game cantik dalam mencapai kesuksesan bersama. Bukan untuk menjadi forum perdebatan dan adu kekuatan. Politik yang seharusnya mendamaikan semua pihak, bukan untuk menjadi tindakan tirani.
Di Negara kita Indonesia, ketakutan dan kekuasaan absolute dibicarakan Bung Hatta dalam sidang BPUPKI 15 Juli 1945. Bung Hatta menghendaki agar Negara kita didasarkan pada hukum (rechstaat), bukan atas dasar kekuasaan (machstaat). Artinya, agar Negara kita didasarkan pada rotasi hokum, bukan pada kekuasaan, karena kekuasaan yang tidak dilandasi oleh hukum, akan berujung tirani dan ketidakadilan politik. Selain itu hukum harus melindungi hak-hak masyarakat yang berkait dengan politik.
Suatu Negara tidak akan pernah bisa maju jika rakyatnya sendiri tidak pernah percaya pada pemimpinnya, dan seorang pemimpin mengkhianati dirinya sendiri maupun rakyatnya. Tetapi Negara akan lebih sejahtera jika rakyat mensupport pemimpin dan pemimpin menjalankan demokrasi yang sebenarnya.
Arti politik secara terminologi adalah membebaskan, atau memerdekakan segala bentuk penindasan kekuasaan politik, ketidak adilan, kebodohan dalam kebersamaan yang wajib diterapkan sejak dini. Sebagai pelajar yang bernafas nasionalis, fardlu ‘ain bagi kita untuk menancapkan bendera politik di puncak rasio akal kita. Memang secara etis pelajar belum pantas untuk bergulat di bidang politik. Akan tetapi apakah pelajar harus duduk manis ketika berbagai tindakan kekerasan (kekerasan politik) baik bersifat vertikal maupun horizontal terus berlanjut pada jangkauan yang meluas. Selain itu, “debat kudeta” antar elite tentang fungsi dan hak masing-masing tak kalah kerasnya, sehingga menciptakan kekerasan hubungan social politik yang makin membudaya.
Pernyataan elite menjadi tidak produktif ketika masyarakat (anggota) dibuat tidak mengerti. Masyarakat (anggota) mulai dihantui keraguan mengenai apa sebenarnya maksud dari tindakan pihak lain.
Ketentuan hukum seharusnya menetapkan siapa yang benar dan siapa yang salah, guna menjamin keadilan, ketertiban sosial, ekonomi dan politik. Namun setiap kata atau pernyataan pada undang-undang dan pasal ternyata bisa diberi arti dan makna yang bervariasi sesuai dengan versi pelaku (tersangka). Bukan keadilan yang dihasilkan, tapi membuka peluang bagi para pelaku untuk bertindak tirani. Hukum sekarang belum bisa dibuat landasan seutuhnya oleh para pihak. Hukum sekarang lebih pantas disebut sebagai pemicu adanya berbagai konflik.
Ketimpangan praktik politik merebak pada ketimpangan empiris lain yaitu ekonomi, seseorang yang munguasai pada bidang politik maka dengan sendirinya dia akan menguasai bidang ekonomi. Siapa yang menguasai bidang ekonomi belum tentu dia mahir dalam politik.
Pada hakikatnya politik menjadi game cantik dalam mencapai kesuksesan bersama. Bukan untuk menjadi forum perdebatan dan adu kekuatan. Politik yang seharusnya mendamaikan semua pihak, bukan untuk menjadi tindakan tirani.
Di Negara kita Indonesia, ketakutan dan kekuasaan absolute dibicarakan Bung Hatta dalam sidang BPUPKI 15 Juli 1945. Bung Hatta menghendaki agar Negara kita didasarkan pada hukum (rechstaat), bukan atas dasar kekuasaan (machstaat). Artinya, agar Negara kita didasarkan pada rotasi hokum, bukan pada kekuasaan, karena kekuasaan yang tidak dilandasi oleh hukum, akan berujung tirani dan ketidakadilan politik. Selain itu hukum harus melindungi hak-hak masyarakat yang berkait dengan politik.
Suatu Negara tidak akan pernah bisa maju jika rakyatnya sendiri tidak pernah percaya pada pemimpinnya, dan seorang pemimpin mengkhianati dirinya sendiri maupun rakyatnya. Tetapi Negara akan lebih sejahtera jika rakyat mensupport pemimpin dan pemimpin menjalankan demokrasi yang sebenarnya.
Posting Komentar