el-Insyaet Online - Berlatar belakang
kegelisahan insan media di TBS akan perlunya penerus yang cakap untuk
melanjutkan dunia tulis menulis, maka terselenggaralah Latihan Dasar
Jurnalistik (LDJ) yang kali ini memasuki periode ke-16.
Kejayaan Islam dalam dunia tulis menulis dan
pengetahuan yang pernah diraih pada masa Abbasyiah dengan pesatnya pengetahuan
umum dan agama, dewasa ini ingin diulang kembali pada era modernisasi dan
globalisasi. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Kepala MA NU TBS
Kudus, H. Musthafa Imron, S.HI, pada sambutannya saat pembukaan LDJ di gedung
utara MA NU TBS Kudus, bahwa disamping umat Islam harus membaca, umat Islam juga
dituntut untuk pandai menulis sehingga ilmu dan informasi yang diperoleh tidak
hanya tersimpan di otak, tapi juga dapat dipahami oleh orang lain lewat tulisan
yang baik. Ungkapan ini selaras dengan ayat Al Quran yang pertama diturunkan.
Yaitu iqro’, bacalah. Yang
mengisyaratkan umat Islam harus belajar, antara lain lewat membaca. Tanpa adanya
bacaan, maka proses belajar tidak berjalan dengan mudah. Pernyataan lain juga
dilontarkan oleh seorang sastrawan Indonesia, bahwa orang Indonesia itu rabun
membaca dan pincang menulis. Menanggapi tuntutan masalah seperti ini. Madrasah
TBS lewat PP – IPNU TBS mengadakan LDJ, yang periode ini menugaskan Mohamad
Abdurro’uf sebagai Ketua Umum.
LDJ merupakan salah satu program kerja tahunan yang
berhasil menyita banyak perhatian siswa TBS, terbukti dengan banyaknya siswa
yang mendaftar dan hadir pada acara yang diselenggarakan mulai tanggal 19
sampai 21 Desember 2011M. Diluar dugaan, peserta yang hadir kali ini lebih
banyak dibanding periode yang lalu. Ini membuktikan bahwa semangat menulis
siswa TBS memang besar.
Acara yang dimulai pada hari senin ini, mendatangkan
berbagai narasumber. Mulai dari jurnalis senior, redaktur sastra, penulis media
yang sudah berpengalaman dan para alumni TBS yang memiliki andil besar di berbagai
media. Hari pertama pelatihan berlalu dengan materi yang ditanggapi oleh
kekritisan peserta yang memang butuh ilmu yang disampaikan narasumber.
Tak puas hanya dengan materi saja. Para peserta juga diberi
tugas untuk praktek langsung membuat suatu media berupa buletin bayangan untuk
satu kelompok. Dan di presentasikan pada hari terakhir.
Dengan pengalaman membuat buletin bayangan tersebut, di
harapkan mereka tidak akan gagap ketika terjun langsung di suatu media. Mereka
belajar tentang pembagian tugas keredaksian, proses penulisan isi buletin,
kekreatifan membuat rubrik yang menarik, management redaksi, pengaturan dan
efisiensi waktu, juga belajar untuk menyesuaikan diri dengan deadline. Saking
semangatnya mereka dalam bersaing membuat buletin yang berkualitas, banyak yang
masih menulis sampai jam setengah dua malam. Padahal saat itu sudah waktunya
istirahat.
Masih tak puas dengan buletin sebanyak 24 halaman yang
di targetkan oleh panitia. Di hari kedua, para peserta di ajak berkunjung
langsung ke kantor redaksi Suara Merdeka untuk mengetahui langsung proses
pembuatan, pencetakan berita yang sampai pada tangan pembaca. Mereka sangat
antusias saat tour mengelilingi kantor redaksi sampai ke ruangan mesin pencetak
koran yang besar. Setelah dari Suara Merdeka mereka bertukar pengalaman bersama
para mahasiswa yang ikut redaksi Kompas Mahasiswa UNNES tentang prsoses
pembuatan majalah. Mulai dari penentuan tema, permasalahan yang dihadapi saat
membuat majalah, sampai suka-duka membuat majalah.
Untuk mengasah kemahiran peserta dalam mencari dan
menulis berita. Mereka berkunjung ke Kuil Sam Poo Kong. Pemandangan yang sangat
kompleks terlihat. Santri berpeci mewawancara orang-orang cina yang berkunjung
dan sembahyang di bangunan kuil yang megah dan halaman yang luas. Alasan kenapa
mereka berkunjung ke sana adalah karena Sam Poo Kong atau Laksamana Cheng Ho
adalah seorang muslim yang justru diagungkan oleh orang yang beragama Hindu.
Itulah hal yang peserta coba ketahui dan tulis. Hal ini mengundang perhatian
pengurus Kuil Sam Poo Kong. Karena LDJ TBS adalah umat muslim terbesar yang pertama
kali berkunjung ke sana. Sambutan hangat menjadi tak asing lagi antar sesama
umat bergama. Peserta menjadi tahu bahwa
kuil Sam Poo Kong adalah simbol multikulturalisme dan kerukunan umat beragama.
Dikarenakan umumnya kuil hanya terdiri dari warna merah dan kuning saja. Tapi
di sana ada juga warna hijau khas Islam yang menghias sudut kuil dan juga ada
sebuah bedug yang cukup besar di kuil utama. Sehingga perpaduan budaya cina dan
Islam terbangun di kuil yang berdiri megah tersebut.
Semua yang didapatkan peserta selama mengikuti latihan
ini akan berguna nanti saat mereka mulai mnulis dan bergabung di media.
Khususnya buletin el-Insyaet dan majalah Ath-Thullab.
Mohammad Abdurrouf , X A MA NU TBS Kudus
Posting Komentar