Selamat datang di el-Insyaet Online

Kere ’Aktif’, Lalu Menulis!

Rabu, 12 Juni 20131komentar

el-Insyaet Online - Awal pertama kali seorang penulis menuangkan ide dan karya adalah dengan melambung, mengajak otak kanan dan kirinya ber-onani, Bekerja sama merangkai kata untuk melahirkan suatu karya yang ‘enak’ dibaca. Entah Artikel, Opini, Esai, Cerpen ataupun beragam lainnya. Dalam menginspiratifkan karya, kiranya ulasan strategi kreatif perlu untuk dikemuakan, Bahwa menulis itu bukan sekadar menuangkan gagasan atau ide. Lebih dari itu, menulis adalah seni meludahkan pikiran dalam bahasa tulis yang tertata dan berdata(1).

Keterampilan Menulis

Seringkali di dalam pelatihan, workshop atau sejenisnya mengemukakan; jika keterampilan menulis itu menjadi pokok atau landasan untuk mepropagandakan karya ‘jadi’(2). Padahal, Keterampilan menulis itu bak seorang cewek yang belum mengerti tentang cinta namun dipaksa nikah, dijodohkan oleh orang tuanya. Bagi orang tua, cinta bagi gadis yang belum tahu soal rasa akan mudah dilahirkan setelah pernikahan. Maksudnya, seiring perjalanan waktu, keterampilan menulis lambat laun akan terasah secara bertahap. Yang penting dilakukan terlebih dahulu. Wacana seperti ini juga sebagai dasar memenuhi pengetahuan kita tentang berbagai hal. Dan ingat! Tradisi iqra’ harus diterapkan sebelum tradisi menulis (kitabah) kita jalankan. Itu dulu. Intinya, jangan terlalu dipaksakan (muluk-muluk) nikmatilah proses, hasil untuk menjadi ‘baik’ tak cukup satu-dua percobaan.

Keyakinan Menulis

Sebelumnya, keyakinan (iman) harus kita punyai sebelum melewati proses kreatif menulis. Tanpa keyakinan, tulisan kita tak akan berbentuk dan bervisi. Bisa dibilang sama juga bohong!

Banyak diantara sidang pembaca yang limbung, tak tahu harus mulai dari kata apa dan seterusnya bagaimana. Macet. Tujuan mengenai apa yang kita tulis menjadi sukar untuk menjadi tulisan yang baik. Maka ketahuilah, bahwa kemacetan menulis seperti itu adalah karena kita belum punya kayakinan tentang apa yang akan kita tulis. Maka adalah 3 aspek yang terkandung dalam keyakian kita menulis, yakni; Kebenaran, kejujuran dan kepedulian apa yang ingin kita tulis dan tujuannya apa dalam kepenulisan itu(3). demikian itulah yang disebut keyakinan.

Hamil kegelisahan

Ya, selain keyakinan menulis, hal selanjutnya yang harus kita tumbuhkan adalah hamil kegelisahan. Gelisah tentang apa saja. Tentang teman kita, lingkungan kita, orang tua kita, guru kita, kepemilikan kita, hak-hak kita, kewajiban kita, kesalahan kita, akidah kita, perilaku kita, pemikiran kita, bahkan tentang Tuhan. Seperti kata Budayawan Ahmad Thohari; menulis adalah titik dimulainya kita mudah meludahkan kata. Jika Gelisah saja tidak pernah, maka tak akan punya keberanian kreatif menuangkan ide dalam karya tulis. Maka dari itu, kiranya hamil kegelisahan sangatlah kuat untuk jadi pensuplay ide atau gagasan(4)

Nah, jika keduanya sudah kita kantongi, maka pikiran kita akan menuntun kepada kemudahan mengungkapkan gagasan dalam kata, dengan tinta. Ibaratnya begini, ketika kita sedang asyik berbelanja di sebuah pasar tradisional, tiba-tiba saja seorang yang tak dikenal mendakwa kita sebagai seorang copet. Padahal kenyataannya tidak demikian. Sekonyong-konyong, kita berani lantang melancarkan protes dan melawan karena merasa difitnah. Emosional, membantah, membela diri, atau kata-kata kasar begitu lancar keluar dari dua bibir yang mulia.

Lalu, mengapa demikian? Barangkali, ketika itu kita sedang memuncak keimanan kita, yakni keimanan bahwa kita sebetulnya tidak pernah melakukan “dosa mencopet” tersebut. Keimanan kita “tergoncang” setelah difitnah. Lalu dengan sendirinya, tubuh dan pikiran kita membela diri, karena gelisah.

Menulis juga seperti itu. Ketika kita punya kayakinan (entah moral, idealitas pemahaman, atau kepercayaan diri) terkoyak oleh sebuah keadaan, gangguan luar, atau faktor lain di luar diri, kita akan bergerak dengan mudahnya melakukan interupsi besar-besaran. Demikian itulah, ternyata menulis adalah bagian dari interupsi juga. Tentang apapun yang kita gelisahkan dan tentang apapun yang membuat kita tidak puas.

Seperti kata Abdullah Badri (Alumnus Madrasah TBS 2005) dalam pelatihannya, bahwa kalangan penulis adalah kelompok yang tercerahkan. Karena setiap penulis, dan pada umumnya manusia, memiliki satu sifat yang sama: ingin tahu, meskipun karakter keingintahuannya berbeda-beda. Ingin tahu karena gelisah, cemas, kecewa, kurang puas atau apa pun namanya yang membuat pikiran kita bergerak untuk segera melakukan interupsi. Percayalah, tanpa iman (keyakinan), kegelisahan, dan tradisi iqra’, menulis jadi sulit.

Jangan harap kita akan menjadi seorang penulis jika tabiat malas membaca dan berpikir tentang kegelisahan masih mengendap dalam diri kita. Jadilah diri yang kreatif dulu, yakin, setelah itu, kita akan memiliki jiwa dan karya kreatif. Kreatif dapat kita pahami sebagai “kere” dan “aktif”. Orang yang tak punya uang alias kere, biasanya akan aktif melakukan berbagai hal untuk mendapatkan uang, entah mengemis, bekerja atau berusaha. Menulis tak akan aktif kalau kita “kere” kegelisahan. Dan, Gelisah itu baik! Perlu dilestarikan. Bukankah demikian? Silahkan menikmati kegelisahan anda.

Sumber : 1) Makalah Latihan Dasar Jurnalistik XV MA NU TBS Kudus 2010. 2) Makalah Pelatihan Jurnalistik Otodidak Instansi Kudus.

Syarifuddin Fahmi, Ketua PP-IPNU MA NU TBS Kudus 1432-1433 H / 2011-2012 M
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

18 Juni 2013 pukul 07.02

test

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. el-Insyaet Online - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger | Thanks to Mas Templates and Cara Gampang