Aku termenung dalam kesendirian. Sungguh sunyi malam ini. Di sisi terlelap bidadari kecilku, Khansa yang baru mengenyam pendidikan taman kanak-kanak. Bola mataku tertumbuk pada sebuah foto di meja rias. Sendu segera mencoba mendobrak pagar pertahananku. Pecahan-pecahan Kristal bening hamper pecah di pelupuk mata. Tak mampu lagi ku tutupi tabir ini. Aku rindu padanya. Gelombang rindu yang begitu dahsyat menghantam dinding hati.
Yah, aku sangat merindukannya, Abi Ilham. Aku yakin, saat ini Abi telah merengguk manisnya iman, buah dari amal ibadahnya selama menghirup udara dunia yang fana ini. Kecelakaan kereta api di daerah Pemalang, Jawa Tengah dengan teganya merenggut abi dari bahtera rumah tangga yang kita bangun selama 18 tahun lebih. Tak puas dengan merebut abi dari hidupku, kecelakaan itupun dengan sadisnya membawa serta kedua kaki buah hatiku, Habib. Remaja sebelas tahun harus mendekam tak berdaya dibalik jendela selama hidupnya. Akupun rasanya tak mampu.
Ya rabb, sungguh ujian yang tak ternilai bagiku. Andai aku tak memiliki setetes iman di hati, mungkin kini aku sudah terombang-ambing di tengah luasnya samudera kehidupan. Aku harus berjuang seorang diri menghidupi empat putra-putri, juga pastinya stigma masyarakat tentang status janda. Aku menulikan telinga sendiri terhadap gunjingan masyarakat sekitar yang tiada henti. Apakah seorang janda selalu identik dengan apapun yang negative?
Atmosfir bumi semakin menipis membuat udara kota Demak semakin berasap, tak terkecuali tengah malam seperti ini. Badanku lelah sekali rasanya, namun mata ini tak kunjung di datangi kantuk. Seharian menjaga toko kecil peninggalan abi dan melayani berbagai watak pembeli tak hanya membuat fikiranku terkena virus, tetapi tubuh ini juga berdemo menuntut waktu istirahatnya.
Tak jarang, putra sulungku, Fahmi, rela mengorbankan waktu belajarnya demi baktinya padaku. Ingin sekali ku larang, tapi apa daya, tekadnya lebih kuat. Seharusnya dia menghabiskan hari untuk belajar dan bermain layaknya remaja SMA seusianya, bukan mengais rupiah demi rupiah bersamaku. Aku memang seorang Umi yang tidak amanah.
--------------JJJ--------------
“umi, bangun mi. udah sholat shubuh kah?” tepukan tangan Fahmi sangat lembut membelai pipi.
Astaghfirullah, aku terlelap dengan mukena masih melekat. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 04.30 pagi. Segera ku lepas mukena dan bergegas mengambil air wudhu diiringi tatapan heran Fahmi, Habib, dan Faisal.
“Umi ketiduran abis Qiyamul Lail yah?” Tanya Faisal selagi membentangkan sajadah untukku.
“Iya anakku sayang. Umi ketiduran. Udah ayo Fahmi, mulai jamaahnya.”
Seusai Sholat, rasa Syukur tak ada habisnya kupanjatkan pada Illahi Rabbi karena telah menitipkan putra-putra yang begitu Shalih keapadaku. Fahmi sudah mampu menjadi panutan bagi adik-adiknya dalam segala hal. Habib dengan keterbatasannya tak pernah meluncurkan sepatah kata keluhanpun dari bibirnya meski harus berjamaah di atas kursi roda. Faisal, buah hatiku yang baru berusia 8 tahun mampu memotong waktu tidur untuk berjamaah Shubuh.
Ku tinggalkan ketiga jagoan kecilku belajar membaca ayat demi ayat Alqur’anul Karim dengan bimbingan Fahmi. Pekerjaan rumah menumpuk merayuku untuk segera diselesaikan. Tak lupa kubenahi selimut Khansa sebelum menutup pintu kamar pelan.
Sebenarnya malas itu selalu hinggap di pagiku. Namun apa jadinya jika ku persilahkan malas merajalela mengobrak-abrik segudang aktivitas kewajibanku. Gunungan cucian kotor mengganggu arah pandangku. Tak tega jika cucian sebanyak itu harus di cuci khadim yang setiap hari membantu mengurusi rumah, Mba ita. Tak ada salahnya aku bantu menyicil mencuci sambil memasak sarapan untuk anak-anak. Mba Ita pasti juga mempunyai pekerjaan yang lebih berat dirumahnya sendiri. Dia pun datang pukul 8 hingga pukul 12 siang saja.
Bingung akan mengolah apa pagi ini. Bahan makanan yang ada hanya tinggal sisa. Lalu bagaimana perut anak-anakku yang membutuhkan asupan energy. Sebuah ide mengetuk jalan fikirku. Ayam betina di kandang belakang sudah saatnya bertelur. Untuk kali ini saja aku merebut hak asuh induk ayam, demi kelangsungan hidup keluarga kecilku.
-------------JJJ--------------------
Berat hati kulepas kepergian Fahmi, Faisal dan Khansa. Dengan satu-satunya sepeda motor yang dimiliki, Fahmi tak jenuh mengantar Faisal dan Khansa menginstall ilmu pengetahuan. Bahkan Fahmi seringkali menerima pahitnya hukuman akibat terlambat memasuki gerbang sekolah. Semoga Allah memberi banyak kebaikan kepada Fahmi mengingat pengorbanannya.
Hatiku serasa teriris mata pisau kala ku dapati Habib memandang kepergian saudaranya mengkaji ilmu dari balik kaca jendela. Tak kuasa menahan buliran air mata yang terjatuh mulus melewati pipi. Ku usap air mata ini sebelum Habib sempat melihat dan mendorong kursi rodanya menuju kamar untuk beristirahat.
Kini saatnya aku membuka toko dan memulai hari mencari rizki yang halal demi menyekolahkan anak-anak hingga sukses sesuai keinginan Abi dulu. Semoga Alllah berkenan mengabulkan niatku ini.
Memang tak seberapa toko kecil peninggalan Abi. Hanya bangunan yang menyatu dengan rumah yang diisi dengan berbagi perlengkapan menangkap ikan. Daerah ini memang daerah pesisir yang notabene mata pencaharian penduduknya adalah pemburu ikan. Tepat jika dulu Abi membangun toko Barokah, sebagai alat untuk membantu para nelayan memenuhi kebutuhan. Tak perlulah jauh-jauh ke pusat kota Demak.
Suara lantunan ayat suci menyapa gendang telinga. Pastilah itu Habib. Ya rabb, betapa mulianya anakku ini. Ujian dariMu pun tak sanggup membendung cita-cita masa kecilnya sebagai penghafal AlQur’an. Dalam setiap Qiyamul Lail tak pernah kulupa memanjatkan doa untuk Habib, malaikat kecil calon pelestari kitabMu.
---------------JJJ-----------------------
“Assalamualaikum Umi,” teriak Fahmi memasuki depan rumah yang merangkap sekaligus sebagai toko.
“Waalaikum salam sayang. Gimana tadi sekolahnya?” jawabku setelah menmberi kembalian pada salah satu pembeli dengan senyum menghiasi bibir. Tak terlewat kuluncurkan ucapan terima kasih.
“tadi hampir aja telat mi, tapi untungnya guru piket hari ini baik banget. Hehe” Ucap Fahmi seraya mengecup tanganku lembut, “Fahmi ganti baju dulu yah mi, tar biar Fahmi yang gantiin Umi jaga toko. Umi capek kan? Hmm?”
“Gausah sayang, Umi ngga papa ko. Malah kamu yang capek abis se ….”
“Umiku sayang, uda deh, nurut sama Fahmi buat satu hal ini,”
Percuma saja aku membantahnya lagi, seperti yang sudah lalu, Fahmi selalu saja ngotot menggantikanku menjaga toko. Akhirnya kubiarkan Fahmi masuk kedalam rumah dan mengganti seragamnya.
Perih memandang anak-anak yang semestinya tinggal belajar, belajar dan belajar harus rela melelahkan dirinya sendiri hanya untuk meringankan beban Uminya. Teringat gunjingan ibu-ibu tetangga siang tadi saat aku berbelanja. Duh gusti, aku memang seorang ibu yang tidak becus, malah melibatkan anak-anak untuk memperoleh sesuap nasi.
Tanpa kusadari ternyata sedari tadi Faisal telah duduk manis di sisi sembari melihat acara TV favoritnya pada sore hari, Benteng Takeshi. Ku usap kepalanya dengan lembut dan menyandarkannya di pundak.
“Umi, Ical pengen punya Abi lagi dong, malu di ledekin temen-temen,”
Lontaran khas anak kecil seakan menohok hatiku. Pelan namun sangat menusuk dan meninggalkan luka. Luka itu membuka diri kembali dan semakin bertambah dalam. Sayatan-sayatan kecil yang selama ini menggores hati berubah menjadi luka menganga, dalam dan lebar.
“Ical kan punya Umi, Abi uda nunggu kita disurga nanti.Ical sabar yah,” kembali kuusap kepalanya pelan.
“Iya mi, kenapa Umi ngga nikah lagi? Kitakan ngga tega liat umi tiap hari harus capek-capek demi kita,” Fahmi tiba-tiba muncul dan makin membuat luka ku semakin dan semakin dalam.
“Umi cuma pengen mendidik kalian semampu Umi, sampe kalian sukses semua. Umi udah ngga mikir diri umi sendiri sayang,” ku coba tersenyum sebijaksana mungkin di depan Fahmi dan Faisal meskipun hatiku teriris sembilu
“Liat deh, Umi masih cantik banget. Banyak orang mau lamar umi, eh tapi umi tolak semua tuh.” Timpal Fahmi diikuti anggukan Faisal yang sebenarnya tak mampu memproses maksud dalam otaknya.
Anak-anakku memang benar, tapi mereka tak akan pernah mengerti begitu kuatnya Abi Ilham terpatri dalam hatiku dan tidak akan ada yang mampu mengusirnya jauh-jauh. Bukannya aku tak mendengar omongan-omongan miring dari ipar-iparku juga melihat tatapan sinis mereka pada keluarga kecilku. Itu semua di sebabkan di mata mereka kami adalah keluarga miskin dan tak sederajat lagi dengan mereka. Astaghfirullah.
Dari semua iparku, hanya keluarga kamilah yang hidup penuh kesederhanaan. Jauh sebelum Abi Ilham di ambil sang Khalik, boleh dibilang kehidupanku memang lebih dari cukup. Sekarangpun tidak jauh berbeda. Hanya saja aku harus memutar otak bagaimana aku bisa bertahan mengeluarkan rupiah demi rupiah untuk anak-anak hingga kelak mereka menuai sukses. Jika aku juga diambil, bagaimana nasib mereka? Hanya toko Barokah lah andalanku satu-satunya.
Toko ini memang mulai agak sepi semenjak kepergian Abi. Tak mudah mengelola kepercayaan pelanggan kepada Abi dulu. Seringkali mereka tak puas dengan kinerjaku. Apa mau di kata, aku bukanlah Abi dengan segala kesahajaannya. Aku hanyalah Ibu Rumah tangga yang membanting stir menjadi wiraswasta. Biarlah orang menyenandungkan apapun tentangku sesuka mereka. Hanya aku dan Allah lah yang tau apa dibalik tabir hidupku.
------------------JJJ--------------------
“Maaf pak, untuk saat ini dan esok, saya hanya ingin membesarkan anak-anak saya dan melihat mereka semua menjadi orang sukses,” dengan halus ku tolak lamaran pak Burhan, perangkat desa Bonang.
“Ibu Zainab ini ngga bersyukur ya, masih bagus saya melamar Ibu. Daripada Ibu di gunjing orang dan di tuduh janda genit? Saya ngga tega bu. Udahalah terserah Ibu saja. Makan tuh anak-anak dan cinta mati Ibu. Miskin dan ngga tau diri.” Sumpah serapah terlontar dari
mulut pak Burhan seraya melangkahkan kaki keluar dari rumah.
Astaghfirullah. Lindungi hambaMu ini dari fitnah-fitnah manusia tak berhati nurani di muka bumi ini. Ingin rasanya kembali ke pangkuan Ibu di sudut kota Surabaya dan menumpahkan semua perih yang ku telan. Begini nasib jauh dari kampung halaman dan tak mempunyai sanak saudara kecuali ipar-ipar dengan gerbang rumah menjulang tinggi, dan bahkan aku yakin mereka takkan sudi membukkakan pintu sekedar mendengar rintihan pilu hidupku.
Dan airmata yang mengambang di pelupuk mata tak mampu ku bendung lagi. Khansa melangkah dari pintu kamar dengan wajah kusut bangun dari tidur siangnya. Fahmi, Faisal dan Habib yang sedari tadi mengintip dibalik pintu ruang tengahpun beranjak. Setelah sekian lama ku sembunyikan butiran-butiran air mata dari bola mata anak-anakku, akhirnya kini mereka merasakan betapa nestapa hidup sebagai seorang janda.
Satu persatu mereka menangis dan memelukku. Menikmati symphoni yang mengalun indah, menghiburku sejenak dari derita. Khansa yang aku yakin tak mampu menyerap apa yang sebenarnya terjadi hanya menangis di pangkuan. Mungkin Fahmi satu-satunya yang dapat memahami gejolak dalam hati ini.
Tekadku sudah bulat. Aku tetap menjaga dan memupuk cinta kasih yang telah di tanam Abi selama belasan tahun serta menjadikan empat serdadu perang ku sukses melewati medan jihad sekeras apapun itu. Keyakinan akan terwujudnya impian-impianku menari dengan jelas dihadapan mata. Bismillah. Ada Allah dalam relung hatiku.
----------------JJJ----------------
Suasana di halaman aula kampus sangat riuh dengan hadirnya ratusan keluarga mahasiswa yang akan resmi dinobatkan sebagai sarjana.
“Bu dokter, periksa hatiku dong. Haha.” Faisal dengan mimik lucu menggoda Khansa yang hari ini di wisuda menjadi seorang dokter dari Universitas Indonesia.
“Umi, ka Ical jahat tuh,” Khansa menggamit lenganku dan menunjuk ke arah Faisal yang menampakkan cengiran kudanya dibalik kursi roda Habib.
Bayi mungil Ilmi berusia 11 bulan dalam gendonganku menggeliat bangun dan mengerjap-ngerjapkan mata sipit keturunan Uminya. Ilmi adalah putri kedua buah keturunan Fahmi dengan istrinya, Ilma. Wajah polosnya mengingatkanku dengan Khansa di waktu kecil. Kala aku harus membesarkannya seorang diri tanpa siapapun kecuali kakak-kakak Khansa sendiri.
“Sini umi, biar Ilma aja yang ganti gendong Ilmi. Tuh Fahma nangisnya udah berhenti, udah sama abinya. Ilmi berat kan, kasian umi. Hehe” Ilma mengambil alih Ilmi dan menidurkannya kembali dalam pelukannya.
Mataku menelusuri seluruh serdadu-serdadu perangku yang telah berhasil menerjang berbagai serangan di medan perang. Fahmi kini merubah dunia dengan tulisan-tulisan filosofisnya yang fenomenal di dampingi belahan jiwanya, Ilma. Menjadi dai sekaligus seorang Hafidz memang sangat pantas disandang Habib meskipun sisa hidupnya harus dihabiskan di atas kursi roda. Tak habis sampai disitu, Faisal juga mempersembahkan buket bunga sangat indah untukku sebagai dosen Psikologi di universitas yang menjadi naungan Khansa selama empat tahun lebih.
Dan hari ini, lengkaplah sudah kepingan hidup yang kurangakai selama ini, walau terasa pincang karena tak ada Abi disisi. Khansa memilih jalan hidupnya sebagai penyelamat nyawa orang lain dan bercita-cita membangun rumah sakit bagi orang tidak mampu di kota Demak. Sungguh bahagia tiada tara dapat menyaksikan anak-anakku menyesap manisnya kehidupan di dunia. Tak hanya di dunia, di akhirat kelak pun aku berharap mereka dapat menyeberangi Sirathal Mustaqim secepat kilat.
Mungkin sekarang aku sudah pantas disebut eyang dengan dua cucu dari Fahmi. Usiaku sudah menginjak kepala enam dan ajal bisa saja menjemputku kapan saja sesuai takdir yang telah di gariskan di Lauhil mahfudz. Andai ajal itu menarik rohku keluar detik ini juga, aku ikhlas. Impian ku melihat anak-anak meneguk kehidupan yang lebih baik telah terwujud. Aku mampu tersenyum bahagia jika kelak bertemu abi dan memperlihatkan buah perjuanganku di hantam kerasnya ombak kehidupan.
Abi, lihatlah serdadu-serdadu perang kita. Mereka menggapai asa nya masing-masing di tengah hiruk-pikuk medan perang. Terima kasih karena telah menanamkan benih cinta segitu dalamnya dalam palung hati hingga aku tetap mampu berdiri tegak dipusaran angin yang mengobrak-abrik hidupku. Terima kasih atas semua yang telah kau berikan dengan hati, akupun menerimanya dengan hati, dan anak-anak kubesarkan dengan hati pula.
Maafkan diriku jika belum bisa mempersembahkan apa yang ingin engkau raih dulu. Hanya ini yang mampu aku rengkuh dalam tubuh ringkihku. Aku sangat berharap di atas sana engkau tersenyum dan menampakkan binarnya seperti binar mataku dan serdadu-serdadu kita.
Kiriman dari orang spesial :D yang tidak ingin disebutkan namanya :D
Posting Komentar