el-Insyaet Online - Penambahan kata Religius pada tema Religiositas Tradisi Jawa kali ini mengacu kepada kegelisahan redaksi mengenai lunturnya nasionalisme dan patriotisme 'jawa' kita. Dengan bukti kecil yang sering terungkap bahwasanya 'wong jowo ora njawani'. Kalimat tersebut sudah sering dimantrakan oleh nenek moyang kita. Apa kita tidak sadar ketika disinggung dengan peribahasa itu? Atau justru kita malah merasa risih mendengarnya?
Terkadang kita sadar, bahwasanya budaya atau tradisi kita perlu diuri-uri, namun terkadang disisi lain kita menganggap bahwa trend mode budaya dan tradisi barat-lah yang mungkin lebih relevan. Sehingga budaya dan tradisi jawa yang kita miliki hanya sampai pada lisan belaka. Bahkan ada satu-dua tiga oknum yang merasa malu menggunakan adat-adat budaya dan tradisi jawa (baca; kejawen) Tak ayal, jika isu yang merebak beberapa tahun terakhir ini adalah kemarahan kita atas budaya dan tradisi kita karena telah dicuri.
Selain itu, perlu diketahui bahwasanya unsur religius pada tatanan tradisi jawa juga melatar belakangi persebaran Islam di tanah jawa yang dipelopori oleh Walisongo dan ulama ulama 'salaf'. Seperti mitoni, tahlil, sekaten, wayang kulit, kalimosodo, Lir-Ilir, dan lagu-lagu kejawen lainya. Bahkan sampai menabuh bedug dan kenthongan sebelum melaksanakan Sholat-pun juga sebuah tradisi jawa yang unik dan tiada duanya selain di Indonesia.
Dari sini, kita patut memberi pencerahan, bahwasanya tradisi kita patut di galakkan kepada generasi penerus bangsa, Mikul Dhuwur Mendhem Jero, Gus-Ji-Gang adalah contoh kecil diantaranya, belum lagi beragam istilah syarat tradisi Jawa dan makna yang belum kita ketahui. Oleh karena itu, mari kita lestarikan dan diuri-uri, mari kita tinggalkan kiblat barat yang sering kali membelokkan langkah kita. Jangan menduakan warisan nenek moyang kita, janganlah kita selingkuh dengan budaya-budaya yang tidak sesuai dengan aqidah kita (Bon&/red).
Posting Komentar